Kamis, 29 November 2012

renungan

-->
Membangun Rasa Persaudaraan Dalam KMK SPC
Sebagai Perwujudan Membangun Gereja
(Oleh: Yosef Firman Narut)
dj (20).jpgPersaudaraan merupakan suatu sifat khas yang muncul di dalam lingkungan tertentu, bisa dalam wujud keluarga yang terikat oleh hubungan darah ataupun kelompok sosial yang lebih luas semisal organisasi  KMK St. Petrus Canisius yang mempunyai visi dan misi tertentu. Keterikatan atas adanya tujuan yang sama inilah yang nantinya akan melahirkan rasa persaudaraan.
            Perlu dibedakan secara tegas pengertian antara istilah “kekeluargaan” dengan “persaudaraan”. Sifat keluarga boleh ada dalam setiap makhluk namun sifat saudara hanya ada pada manusia karena keunggulan pola pikirnya. Jadi, tentu saja teramat unggul bila rasa persaudaraan ada di dalam keluarga dan akan sangat erat bila di dalam keluarga tertanam rasa persaudaraan. Singkatnya, rasa persaudaraan itu menunjukan keunggulan kualitas spesies manusia diantara spesies yang lain dan tentu saja menjadi penanda kualitas mentalnya.
Rasa persaudaraan menjadi titik tolak dan tolok ukur kualitas manusia, siapapun orangnya. Maka dari itu, bagi setiap anggota dalam wadah oraginisasi KMK SPC diperlukan kesungguhan untuk membuktikan bahwa dirinya memiliki rasa persaudaraan, sebab rasa tersebut menjadi bukti atas kualitas dirinya sebagai manusia.
Bagaimanakah identitas keluarga sebagai ''gereja kecil''?. Sama seperti hakikat gereja adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus yang dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia, demikian pulalah hakikat keluarga  dalam wadah KMK SPC sebagai sebuah gereja kecil. Dalam penghayatan sebagai gereja kecil, KMK SPC seharusnya memiliki identitas.
Keluarga sebagai gereja kecil memiliki identitas melakukan kehendak Allah, yaitu dengan mendengarkan Firman Allah dan melakukannya. Identitas keluarga yang melakukan kehendak Allah penting untuk dihayati, teristimewa dalam menyikapi perubahan-perubahan zaman. Firman Allah menjadi dasar dalam menyikapi pelbagai tuntutan perubahan. Dalam rangka melakukan kehendak Allah, keluarga perlu membangun kedekatan relasi dengan Tuhan dan sesama.
Keluarga yang melakukan kehendak Allah juga bisa dilihat perwujudannya antara lain dalam komunikasi satu dengan yang lain serta solidaritas. Jika dalam keluarga tidak terjadi komunikasi yang baik, biasanya akan mudah muncul kesalahpahaman, saling mencurigai dan tidak mempercayai hingga terjadilah konflik yang berkepanjangan. Dengan demikian, KMK SPC sebagai gereja kecil yang melakukan kehendak Allah perlu menerjemahkan kehendak Allah itu dalam komunikasi yang penuh kasih dan membangun, sehingga tercipta suasana hidup bersama yang akrab dan rukun. Dengan hidup dalam kehendak Allah, maka tiap anggota dapat saling memahami dan menghargai. Satu dengan yang lain akan dapat merendahkan hati, menempatkan kepentingan orang lain lebih utama daripada kepentingannya sendiri, sehingga semakin hari semakin menyerupai kehidupan Kristus (Filipi 2:1-8).
Dalam rangka melakukan kehendak Allah, maka penting pula keluarga membangun solidaritas satu dengan yang lain. Solidaritas itu tampak dalam segala peristiwa yang menggembirakan atau menyedihkan. Solidaritas terungkap antara lain dalam sikap empati dan murah hati. Inilah bentuk penghayatan identitas keluarga sebagai gereja kecil yang menyatu dengan sesama sebagai wujud pelaksanaan perintah mengasihi Tuhan dan sesama (Matius 22:34-40).
Jika keluarga kita terbangun dengan baik, maka niscaya gereja pun akan maju dengan pesat serta menjadi berkat bagi masyarakat. Itulah hubungan yang erat antara keluarga dan gereja. Keluarga adalah gereja kecil dan gereja adalah keluarga besar. Mari kita jadikan organisasi KMK SPC kita sebagai gereja kecil yang menjadi berkat bagi sesama.

Rabu, 29 Agustus 2012

renungan2

-->
SALIB TANDA KESELAMATAN
                 Sebagai umat beriman dan sebagai orang Katolik, tentunya salib sudah tidak asing lagi bagi kita. Kita membuat tanda salib sebelum  mengawali dan mengakhiri doa. Kita juga mempunyai salib yang biasa kita kenakan sebagai aksesoris atau hiasan dalam penampilan, dan juga kita memiliki salib yang terpampang di tembok rumah, sekolah dsb. Salib yang dipakai oleh umat Katolik dilengakapi dengan patung badan ( corpus ) Kristus. Salib – salib tersebut, sebelum dipakai, terlebih dahulu harus diberkati dan disucikan oleh Imam.
Pada zaman Yesus, salib bagi orang – orang Yahudi dan Yunani adalah suatu kebodohan dan batu  sandungan. Tetapi, bagi orang Katolik, salib adalah tanda pembebasan dan tanda keselamatan. Salib adalah pengharapan. Salib memiliki nilai rohani yang mendalam. Salib senantiasa mengingatkan kita tentang misteri Paskah yaitu sengsara, wafat, dan kebangkitan Kristus.Karena dengan salib, kita diselamatkan oleh-Nya. Tiga poin penting dari misteri Paskah yaitu sengsara, wafat, dan kebangkiatan Kristus, sudah terwakilkan secara jelas oleh salib.
Bagi orang –orang Yahudi dan Yunani pada zaman Yesus, salib adalah momok yang sangat mengerikan, menakutkan, dan menyengsarakan terlebih bagi mereka yang akan disalibkan. Yesus hadir untuk membawa suatu paradigma tentang salib yaitu lewat balada penyaliban-Nya sendiri. Salib bukan lagi suatu momok yang mengerikan, menakutkan, menyengsarakan, tetapi salib adalah pengharapan, tanda pembebasan, dan tanda keselamtan dari Allah sendiri. Yesus Kristus hadir sebagai pahlawan kemenangan yang memberi diri-Nya sendiri untuk menebus umatnya sepanjang masa.
Yesus menjalani penderitaan yang tiada taranya, DIA pernah berkata, “ serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya ( Matius 8:20 ).” Ia memikul semuanya tanpa sedikitpun Ia mengeluh. Yesus tidak hanya memikul sebuah salib kayu yang berat, tetapi dibalik itu Yesus memikul dosa –dosa kita  manusia. Yesus rela memberi diri-Nya mati di kayu salib demi menebus dosa –dosa kita.
Sekali lagi, Yesus hadir dan memberi makna baru tentang salib yaitu salib adalah Cinta Kasih Allah bagi umat-Nya, “ tidak ada kasih yang lebih besar dari Kasih Seorang yang menyerahkan nyawanya bagi sahabat- sahabtanya ( Yohanes 15:13 ).” Yesus ingin mengajarkan kepada kita, tentang  CINTA KASIH  yang mengalahkan segalanya. Salib bukan lagi palang penghinaan dan tempat bagi mereka yang akan dieksekusi mati, tetapi lebih dari itu Salib adalah tanda kemenangan.
Kemuliaan salib tidak terletak pada kayunya, melainkan kemuliaan salib terletak pada sosok Yesus yang tergantung di atasnya. Yang paling mendalam dari akhir kisah Anak Manusia yang memberi diri-Nya dalam drama penyaliban adalah “ ada  cahaya kebangkitan “, dimana pribadi dan kemanusiaan manusia aktual akan menjadi berdaya rohani jikalau diorientasikan dengan benar.
by E. Azevedo






Selasa, 24 Juli 2012

opini tentang teknologi,komunikasi,dan spiritualitas


TEKNOLOGI KOMUNIKASI
SEBAGAI CANDU MASYARAKAT

Di tengah pesatnya perubahan yang merupakan akibat dari proses globalisasi, tak dapat dipungkiri lagi bahwa segala sesuatu bisa terjadi dengan begitu mudahnya. Di dalam perubahan itulah manusia dibentuk secara alamiah dalam keberadaannya bersama dengan yang lain. Kehadiran teknologi komunikasi adalah salah satu bentuk konkret perubahan itu. Perubahan seperti ini bukan hanya terjadi dalam suatu masyarakat saja tetapi justru hampir di semua wilayah. Dunia menjadi satu wilayah bersama, dimana semua orang dapat berjumpa dengan orang lain, meski hanya di dunia maya. Dulu, komunikasi masih sangat tradisional. Untuk bisa menyampaikan informasi dari satu tempat ke tempat lain, dibutuhkan waktu berhari-hari. Sarana komunikasi yang paling ampuh tempo itu adalah surat. Namun, karena adanya globalisasi, kini informasi dapat kita peroleh dengan mudah dan cepat.
Pengaruh teknologi komunikasi bagaikan lemparan batu di tengah kolam yang tenang dan membuat air bergolak, karena teknologi komunikasi juga merupakan wadah percampuran informasi yang baik sekaligus buruk. Tetapi yang lebih berbahaya menjadi sarana informasi pemersatu atau pemecah belah, tergantung muatan isinya. Dalam konteks yang lebih luas, Futurolog Alfin Toffler tahun 1980 telah memperdiksikan akan terjadi perubahan di masyarakat, yang disebabkan sirkulasi informasi. Perubahan ini dikenal sebagai karakter peradaban Gelombang Ketiga (Third Wave).  Teknologi komunikasi menjadi sumber kekayaan dan penguasa baru menggantikan barang modal sebagai ciri Gelombang Kedua, serta peradaban pertanian sebagi ciri Gelombang Pertama. Di sini, nampak jelas bahwa kehadiran teknologi komunikasi menjadi kekayaan dalam sejarah peradaban masyarakat.
Pengalaman membuktikan, penetrasi teknologi komunikasi memberikan kombinasi antara pengaruh yang terukur sampai dengan pengaruh bawa alam bawa sadar. Pengaruh teknologi komunikasi persis seperti penetrasi efek candu. Awalnya tidak terasa sampai kemudian orang tidak berdaya mengendalikan pengaruh itu. akhirnya terjadilah kondisi ketergantungan dan ingin ulang kembali. Sebagai contoh, dalam upacara misa atau ibadat, konsentrasi kita sering kali terganggu saat ada hand phone berdiring. Untuk satu jam saja bersama Tuhan kita masih sulit untuk mematikan hand phone, apa lagi kalau berjam-jam bersama Tuhan. Contoh lainnya, terdapat banyak orang muda kemana saja tujuan mereka pasti tersimpan handphone di saku atau tasnya. Kadangkala mereka tidak menyimpannya, justru menggenggamnya dengan jempolnya ber-sms ria dengan temannya. Saat kita sibuk dengan diri sendiri, sangat sulit bagi kita untuk berelasi dengan orang lain. Dengan demikian, kita sebenarnya sedang menciptakan kerenggangan hubungan dengan sesama.
Teknologi komunikasi sampai sekarang masih memperlihatkan efek candu itu. Sebagai candu masyarakat, kehadiran teknologi komunikasi merupakan sebuah problem aktual dewasa ini. Semuanya bermula dari ketiadaan pemahaman yang mendalam akan hakikat teknologi komunikasi itu sendiri. Sebagai daya hasil kreasi ciptaan manusia, teknologi komunikasi berhakikat memperlancar komunikasi dan iteraksi dengan lebih hemat, cepat, akurat, dan meningkatkan kordinasi serta kerjasama. Tanpa pemahaman itu, orang akan dengan sangat gampang menghabisi waktu dan uang tanpa pernah merasa bahwa ia sedang merugikan dirinya sendiri.
Teknologi komunikasi merupakan fenomena tak terhindarkan yang menciptakan nilai baru dan budaya baru, ia terlahir sebagai akibat globalisasi. Sebagai budaya baru, ia terlahir dengan sifat khasnya yang serba instan. Kehadirannya  cenderung mengikis nilai-nilai luhur kehidupan. Sebagai insan yang berakal budi, kita diharapkan untuk rasional dan bijak dalam membedakan sarana dan tujuan. Jika demikian maka kita akan terhindar dari efek candu karena sesungguhnya teknologi komunikasi memiliki daya narchotizing.

Refrensi:
Eilers Frans Josef, Berkomunikasi dalam Masyarakat (terjemahan), Penerbit NUSA INDAH: Ende, 2001.
Polykarpus Sola, Pr., Menyambut Hari, Maumere: Komisi Komsos Keuskupan Maumere, 2012.



By: Erwin Roga