TEKNOLOGI
KOMUNIKASI
SEBAGAI CANDU
MASYARAKAT
Di tengah pesatnya perubahan yang merupakan
akibat dari proses globalisasi, tak dapat dipungkiri lagi bahwa segala sesuatu
bisa terjadi dengan begitu mudahnya. Di dalam perubahan itulah manusia dibentuk
secara alamiah dalam keberadaannya bersama dengan yang lain. Kehadiran teknologi komunikasi adalah salah satu bentuk konkret perubahan
itu. Perubahan
seperti ini bukan hanya terjadi dalam suatu masyarakat saja tetapi justru
hampir di semua wilayah.
Dunia menjadi satu wilayah bersama, dimana semua orang dapat berjumpa dengan
orang lain, meski hanya di dunia maya.
Dulu, komunikasi masih sangat tradisional. Untuk bisa menyampaikan informasi
dari satu tempat ke tempat lain, dibutuhkan waktu berhari-hari. Sarana
komunikasi yang paling ampuh tempo itu adalah surat. Namun, karena adanya
globalisasi, kini informasi dapat kita peroleh dengan mudah dan cepat.
Pengaruh
teknologi komunikasi bagaikan lemparan batu di tengah kolam yang tenang dan
membuat air bergolak, karena teknologi komunikasi juga merupakan wadah percampuran
informasi yang baik sekaligus buruk. Tetapi yang lebih berbahaya menjadi sarana
informasi pemersatu atau pemecah belah, tergantung muatan isinya. Dalam konteks
yang lebih luas, Futurolog Alfin Toffler tahun 1980 telah memperdiksikan akan
terjadi perubahan di masyarakat, yang disebabkan sirkulasi informasi. Perubahan
ini dikenal sebagai karakter peradaban Gelombang Ketiga (Third Wave). Teknologi komunikasi
menjadi sumber kekayaan dan penguasa baru menggantikan barang modal sebagai
ciri Gelombang Kedua, serta peradaban pertanian sebagi ciri Gelombang Pertama.
Di sini, nampak jelas bahwa kehadiran teknologi komunikasi menjadi kekayaan
dalam sejarah peradaban masyarakat.
Pengalaman
membuktikan, penetrasi teknologi komunikasi memberikan kombinasi antara pengaruh
yang terukur sampai dengan pengaruh bawa alam bawa sadar. Pengaruh teknologi
komunikasi persis seperti penetrasi efek candu. Awalnya tidak terasa sampai
kemudian orang tidak berdaya mengendalikan pengaruh itu. akhirnya terjadilah
kondisi ketergantungan dan ingin ulang kembali. Sebagai contoh, dalam upacara
misa atau ibadat, konsentrasi kita sering kali terganggu saat ada hand phone berdiring. Untuk satu jam
saja bersama Tuhan kita masih sulit untuk mematikan hand phone, apa lagi kalau berjam-jam bersama Tuhan. Contoh lainnya, terdapat banyak orang
muda kemana saja tujuan mereka pasti
tersimpan handphone di saku atau tasnya. Kadangkala mereka tidak menyimpannya,
justru menggenggamnya dengan jempolnya ber-sms ria dengan temannya. Saat kita
sibuk dengan diri sendiri, sangat sulit bagi kita untuk berelasi dengan orang
lain. Dengan demikian, kita sebenarnya sedang menciptakan kerenggangan hubungan
dengan sesama.
Teknologi
komunikasi sampai sekarang masih memperlihatkan efek candu itu. Sebagai candu masyarakat,
kehadiran teknologi komunikasi merupakan sebuah problem aktual dewasa ini. Semuanya bermula dari ketiadaan pemahaman yang mendalam akan hakikat teknologi komunikasi itu
sendiri. Sebagai daya hasil kreasi ciptaan manusia, teknologi komunikasi berhakikat
memperlancar komunikasi dan iteraksi dengan lebih hemat, cepat, akurat, dan
meningkatkan kordinasi serta kerjasama. Tanpa pemahaman itu, orang akan dengan sangat gampang
menghabisi waktu dan uang tanpa pernah merasa bahwa ia sedang merugikan dirinya sendiri.
Teknologi komunikasi merupakan fenomena
tak terhindarkan yang menciptakan nilai baru dan budaya baru, ia terlahir sebagai akibat globalisasi. Sebagai
budaya baru, ia terlahir dengan sifat khasnya yang serba instan. Kehadirannya cenderung
mengikis nilai-nilai luhur kehidupan. Sebagai insan yang berakal budi, kita diharapkan untuk rasional dan bijak
dalam membedakan sarana dan tujuan. Jika demikian maka kita akan terhindar dari
efek candu karena sesungguhnya teknologi komunikasi memiliki daya narchotizing.
Refrensi:
Eilers Frans Josef, Berkomunikasi dalam
Masyarakat (terjemahan), Penerbit NUSA INDAH: Ende, 2001.
Polykarpus
Sola, Pr., Menyambut Hari, Maumere:
Komisi Komsos Keuskupan Maumere, 2012.
By: Erwin Roga